Siswa-siswi SMA Negeri 2 Sragen dalam sebuah sesi pemotretan bersama. (SMAN 2 Sragen)
Bertumpu pada Gen Z : Siswa-siswi SMA Negeri 2 Sragen dalam sebuah sesi pemotretan bersama. (SMAN 2 Sragen)
Siswa-siswi SMA Negeri 2 Sragen dalam sebuah sesi pemotretan bersama. (SMAN 2 Sragen)

Bertumpu pada Gen Z

Terlepas dari kungkungan negatif produk digital kekinian, negeri ini sungguh berharap pada kualitas mumpuni Generasi Z.


M. Syaid Akbar
Pendidik. Alumnus Universitas Muhammadiyah Surakarta


Pada sebuah Minggu pagi, sekira pukul 10.00, ketika seisi rumah sedang disibukkan dengan berbagai pekerjaan rumah tangga, si Thole, anak sematang wayang saya, tampak mengeluarkan sepeda motornya.

Beberapa saat kemudian, gubrak!  Tiba-tiba terdengar suara motor tersungkur. Bersama istri, seketika saya berlari ke luar rumah untuk melihat apa yang terjadi. Tidak jauh dari rumah, tampak motor matic hitam si Thole rubuh. Dengan pincang kaki, si Thole berjalan tanpa sandal ke arah motornya lalu diberdirikan kembali.

“Ada apa?” tanya saya spontan.

“Tarik gas terlalu kencang, Pak,” jawab si Thole.

Sejurus kemudian tumpahlah omelan-omelan saya dan istri kepada si Thole. Intinya, mengapa bisa terlalu kencang menarik gas sepeda motornya.

Usut punya usut, si Thole merasa kesal saat ia ditugasi ibunya untuk pergi ke warung, membeli beberapa keperluan dapur, padahal tengah asyik-asiknya bermain game online. Dalam situasi tidak sepenuhnya menggunakan akal sehat, saat menarik gas sepeda motor, ia sarat emosi dan tak stabil. Tarikan gas motornya pun menjadi tidak terkendali dan terjadilah kecelakaan itu.

Sepintas, saya lalu berpikir, kejadian tersebut biarlah menjadi bahan pelajaran bagi si Thole. Saya pun memberi teguran keras agar ia dapat menormalkan pikirannya kembali.

Setelah memarkir motornya, si Thole melangkahkan kaki ke kamar. Sesaat saya membiarkannya. Harapan saya, ia sedang menyesali tindakannya yang berlebihan. Bahkan hingga malam, ia tidak juga keluar kamar.

Karena waktunya shalat Magrib, saya bertandang ke kamar si Thole. Apa yang terjadi? Ia sedang seru-serunya bermain game online. Tentu saja saya terkejut, kali kedua untuk hari yang sama.

Saya salah duga. Saya menyangka, si Thole akan merenung dan menyesali perbuatannya. Betapa kagetnya saya, karena seperti tidak terjadi apa-apa.

Era Digital dan Eksistensi Gen Z

Beberapa waktu lalu, seorang teman bercerita tentang sulitnya membangun tim kerja dengan personel yang rata-rata diisi oleh kalangan Generasi Z. Para zoomers pada kenyataannya memang susah ditebak. Bisa jadi, generasi-generasi sebelumnyalah yang kurang mampu memahami pola pikir mereka.

Saya mencoba mencari tahu apa yang terjadi dengan membaca berbagai artikel tentang Gen Z sebagai upaya penyikapan atas mereka di masa depan. Generasi Z adalah mereka yang lahir pada tahun 1997 hingga 2012, dan merupakan kelompok demografis pengganti Generasi Milenial, sebelum Generasi Alfa.

Generasi Z tumbuh seiring berkembang pesatnya era digital, seperti media sosial, game online, dan bermacam aplikasi yang tumbuh pesat semenjak awal tahun 2000. Ketika itu, sistem android mulai diperkenalkan, lantas mendunia. Sebut saja Facebook, X, Instagram, WhatsApp, Telegram, Zoom, dan lain sebagainya. Semua itu menjadi bagian tak terpisahkan bagi perkembangan kejiwaan dan pola pikir zoomers.

Fenomena-fenomena digital pada praktiknya mempunyai banyak dampak, baik positif maupun negatif. Dari sisi positif, produk-produk digital tersebut berhasil mengubah hidup menjadi jauh lebih efisien. Anak-anak menjadi sangat terbantu saat mengerjakan tugas-tugas sekolah. Dengan mudah mereka mendapatkan berbagai informasi yang jika digunakan dengan benar akan mempercepat upgrade pengetahuan dan skill masing-masing individu, dan selanjutnya, memicu kreativitas.

Dari sisi negatif, era digital ternyata dapat mengentalkan  sifat individualisme. Anak-anak menjadi lebih introvert, suka menyendiri, dan kurang berinteraksi langsung dengan lingkungannya. Hal ini bisa menyebabkan peningkatan egoisme kedirian anak. Anak menjadi kurang peka dengan lingkungannya bahkan kurang peka atas sikap langsung yang diterimanya.

Seperti halnya sikap yang saya lakukan pada si Thole. Saya menyangka, sikap diam yang saya lakukan akan menjadi teguran sekaligus pukulan bagi mentalnya agar dapat merenungkan kecerobohan yang telah dilakukan. Pada kenyataannya, tidak demikian. Si Thole mungkin menyadari kesalahannya, namun ia tidak tahu bagaimana cara menyikapinya. Ia pun melampiaskannya dengan bermain game online dan larut di dalamnya.

Lain waktu, sebagai orang tua, saya mulai mengajaknya bicara. Setelah melewati beberapa tema dialog, akhirnya saya menyimpulkan bahwa si Thole memang merasa telah melakukan kesalahan juga paham bila aksi mendiamkannya merupakan sebentuk hukuman.

Saya sedikit lega. Artinya, si Thole paham akan situasi. Ia hanya belum paham bagaimana bersikap selanjutnya. Ia tidak tahu, apa yang harus dilakukan, serta bagaimana memulai penyelesaian masalahnya. Ia bahkan jujur berkata bahwa ia malu untuk memulai pembicaraan.

Gen Z Adalah Masa Depan

Lebih jauh, dengan menghabiskan lebih banyak waktu bersama perangkat elektronik dan lebih sedikit waktu untuk membaca buku, bisa berdampak pada terbatasnya kosakata serta pilihan kata (diksi) para zoomers. Hal tersebut menjadi permasalahan sosial tersendiri.

Sebagai orang tua, saya tentu merasa perlu untuk memutar otak dan menggali berbagai macam informasi supaya tidak salah treatment dan sikap saat menghadapi perilaku anak-anak Z.

Dalam sekup yang lebih besar, mari memahami pendapat Hellen Katherina, seorang eksekutif Nielsen Indonesia. Menurutnya, Gen Z adalah masa depan. Karena itu, penting bagi para pelaku industri untuk memahami perilaku dan kebiasaan mereka.

Lahir pada era digital, sambungnya, Gen Z memiliki kebiasaan yang sangat berbeda dengan generasi sebelumnya. Pada usia yang sangat muda, mereka sudah memiliki pengaruh cukup besar terhadap keputusan membeli dalam keluarga. Hal ini tentu menjadi sangat relevan jika dikaitkan dengan kebijakan-kebijakan bernegara ke depan.

Mari membaca masa depan Indonesia dengan membaca perilaku anak-anak kita sekarang. Semoga kita selalu diberi kemudahan dalam merencanakan dan mewujudkan cita-cita serta harapan-harapan baik di masa depan. Kejayaan sebuah bangsa berawal dari keluarga. Demikian kira-kira.


Berita Terkait

Mungkin Anda Tertarik