

Apa Kabar Sosialisme?
/ Opini
Nilai-nilai yang disebut sebagai ‘sosialisme’ telah lama ada, dan saatnya diberi tempat dalam kebijakan negara.
Budi Gunawan Sutomo
Chief Editor Surakarta Daily
Saint Petersburg, Rusia. Kota tua yang dulu bernama Leningrad. Di sinilah Presiden Prabowo Subianto berdiri. Bukan di podium militer. Bukan pula di kampus. Tapi di forum dunia St. Petersburg International Economic Forum (SPIEF), tepatnya pada Jumat (20/6/2025) yang lalu.
Apabila merujuk pada World Economic Forum yang rutin menggelar pertemuan tahunannya di Davos, Swiss, SPIEF sering disebut sebagai ‘Davos-nya Rusia’.
Di hadapan Presiden Vladimir Putin, para pengusaha kaya, dan diplomat dunia, Prabowo menyampaikan pidato berjudul ‘Indonesia’s Vision for Peace, Stability, and Prosperity’. Pada forum besar yang biasanya membahas pasar, uang, dan pertumbuhan ekonomi, Prabowo dengan lantang mengucapkan sebuah kata yang tidak biasa, yakni ‘sosialisme’.
Kalimat lengkapnya begini, “Kapitalisme ekstrem tidak cocok untuk negara berkembang. Tapi sosialisme juga terbukti tidak efisien. Kita harus ambil yang terbaik dari keduanya.”
Kalimat itu terdengar sederhana, tapi senyatanya sangatlah berat. Kita ingat, ada masa ketika kata ‘sosialisme’ begitu menakutkan di Indonesia. Orang bisa dicurigai, dibungkam, bahkan ditangkap hanya karena menyebutnya. Karena, kata itu dianggap terlalu dekat dengan ‘komunisme’. Meski sangat berbeda, banyak kalangan masih beranggapan bahwa sosialisme tak ubahnya komunisme.
Prabowo Subianto, seorang presiden berlatar belakang militer, nasionalis, dan konservatif. Dari latar belakang itu, rasanya hampir mustahil ia membahas sosialisme di panggung dunia, bahkan tanpa ragu... tanpa takut. Bukan untuk membela ideologi tertentu, tapi untuk menunjukkan bahwa negara harus hadir dalam ekonomi, demi melindungi ‘yang kecil’. Untuk membatasi kerakusan ‘yang besar’.
Sebenarnya, sosialisme bukan hal baru di keluarga Prabowo. Ayahnya, Soemitro Djojohadikoesoemo, adalah ekonom besar Indonesia. Ia pernah menjadi menteri. Pernah juga menjadi pelarian politik, karena terlibat Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).
Waktu itu, Soemitro dianggap pemberontak. Padahal, ia menyuarakan ketimpangan antara pusat dan daerah. Sumatra menghasilkan banyak kekayaan, tapi pembangunan hanya menumpuk di Jawa.
Soemitro percaya, negara tidak boleh terlalu pasrah pada pasar. Negara harus turun tangan, harus adil, harus hadir. Itulah kenapa ia sering disebut sebagai seorang ‘sosialis, tapi bukan kiri’.
Sekarang, puluhan tahun kemudian, sang anak berdiri di panggung global dan berbicara hal yang mirip. Bedanya, tidak lagi ada stigma. Tidak lagi ada tuduhan subversif. Justru berbuah tepuk tangan dari Presiden Rusia.
Prabowo menyampaikan bahwa negara berkembang seperti Indonesia tidak boleh sepenuhnya menyerah pada kapitalisme, tapi juga tidak bisa meniru sosialisme murni yang dulu gagal. Solusinya? Ambil yang terbaik dari keduanya.
Di forum itu, Prabowo juga mengkritik praktik state capture, yaitu ketika kebijakan negara dikendalikan oleh kelompok tertentu, biasanya pemilik modal. Ada yang menyebutnya ‘oligarki’, yakni mereka yang mengatur kebijakan demi memperkaya diri dan kelompoknya. Kelompok ini menggelar sebuah bentuk penjajahan baru; bukan oleh negara asing, tapi oleh kepentingan dalam negeri yang terlalu kuat.
Pernyataan Prabowo seperti tamparan. Bukan hanya untuk dunia luar, tapi juga untuk semua pihak di dalam negeri. Bahwa negara harus kembali pada fungsinya, yakni melindungi rakyat, bukan melayani konglomerat.
Di ujung pidatonya, Prabowo kemudian memperkenalkan Danantara, sebuah lembaga baru yang akan mengelola kekayaan negara, mulai dari hasil tambang, sumber daya alam strategis, hingga cadangan dana nasional yang selama ini hanya disimpan.
Prabowo tak meminta bantuan. Dengan percaya diri, ia menyatakan, Indonesia akan membangun kekuatan sendiri. Bukan untuk menjadi pasar, tapi menjadi mitra. Sebuah pesan tentang negeri ini yang ingin berdiri setara, dan tidak lagi hanya menjadi penonton.
Teguh pada Konstitusi
Tahukah Anda, semua itu secara tidak langsung menyentuh kembali semangat asli Konstitusi. Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa ‘bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat’.
Pasal tersebut telah lama tertulis, tapi terlalu lama pula diabaikan. Kini, kata ‘sosialisme’ menjadi pengingat bahwa keadilan ekonomi adalah amanat Konstitusi, bukan sekadar pilihan ideologi.
Pada praktiknya, nilai itu sudah lama hidup. Di kampung-kampung, warga masih banyak yang rutin kerja bakti. Ada iuran warga untuk perbaikan jalan, pengurusan jenazah, serta takziah. Tidak ada undang-undang harus begitu. Tidak ada insentif. Hanya rasa tanggung jawab bersama. Sosialisme gotong royong.
Itulah bentuk sosialisme yang tak disebut-sebut, tapi dijalani. Perilaku yang tidak perlu pidato, tapi berlangsung turun-temurun.
Mungkin Prabowo tidak sedang mengimpor ide asing. Ia hanya sedang mengingatkan bahwa nilai-nilai itu, yang ia sebut sebagai ‘sosialisme’ sebenarnya sudah lama ada di Indonesia. Nilai yang tinggal dibangunkan kembali dan diberi tempat dalam kebijakan negara.
Di pasar tradisional, sosialisme hidup tanpa jargon, hanya ada rasa tanggung jawab sesama pedagang. Ada koperasi, ada utang yang lunas dengan kepercayaan, dan ada harga yang disesuaikan dengan kondisi warga. Tidak ada label ‘kiri’ dan tidak ada manifesto. Sebuah kesadaran bersama tentang berdagang yang juga harus adil.
Kalau Soemitro masih hidup, mungkin ia akan bangga. Dulu, ia menyuarakan keadilan ekonomi dan dicap pemberontak. Sekarang, anaknya menyuarakan hal serupa dan disambut dunia.
Zaman memang berubah. Tapi nilai-nilai itu tetap. Bahwa negara harus adil. Bahwa rakyat kecil harus dibela. Bahwa ekonomi bukan soal angka, tapi soal keberpihakan. Dan semua itu disampaikan hanya dengan satu kata yang dulu begitu ditakuti, ‘sosialisme’.
Editor: Arif Giyanto