Siswa-siswi KB dan TK Santa Theresia Wedi berkunjung ke Ponpes Sunan Kalijaga, Jumat (19/5/2023). (PPSK)
Yai Sus, Tekad Daulat Pangan Ngrukti Bumi dari Ponpes Kalijaga Wedi : Siswa-siswi KB dan TK Santa Theresia Wedi berkunjung ke Ponpes Sunan Kalijaga, Jumat (19/5/2023). (PPSK)
Siswa-siswi KB dan TK Santa Theresia Wedi berkunjung ke Ponpes Sunan Kalijaga, Jumat (19/5/2023). (PPSK)

Yai Sus, Tekad Daulat Pangan Ngrukti Bumi dari Ponpes Kalijaga Wedi

Pendidikan Islam dan jihad pertanian menjadi faktor utama pembentuk karakter para santri.

Herlina

Indonesia yang agraris tak kunjung berdikari. Adalah Pondok Pesantren Sunan Kalijaga pimpinan Kiai Susilo Eko Pramono yang konsisten pada pertanian organik berprinsip ngrukti bumi, merawat bumi. Yai Sus, begitu ia akrab disapa, bertekun melawan keserakahan, tanpa pertumpahan darah, dengan kembali kepada alam.

Ponpes Sunan Kalijaga beralamat di Dukuh Karangasem, Desa Dengkeng, Kecamatan Wedi Kabupaten Klaten. Bila Anda dari Bangko Bendo, berjalanlah ke arah Pasar Wedi, berlanjut ke arah Bayat.

Sebelum sampai, tepatnya di Desa Birit, berbeloklah ke kiri, ke arah Gempol. Menjelang sampai Gempol, bila Anda berjumpa dengan plakat Ponpes Sunan Kalijaga, berbeloklah ke kiri. Anda dapat bertanya kepada warga di dekat sana.

“Pesantren harus mandiri dan tidak boleh jadi budak kepentingan politis dengan jeratan APBD maupun APBN. Para Kiai tidak boleh larut dalam hedonisme dan egosentris agar tidak blunder pada jebakan pragmatisme. Apalagi adanya donasi dari NGO maupun foundation yang mempengaruhi ideologi hingga culture, ada dalam parade keterselubungan finansialnya itu,” ujar Yai Sus, beberapa waktu lalu.

Beruntung, Yai Sus beristri seorang perempuan hebat, meski tidak memiliki background pertanian. Ia menuturkan, dukungan tersebut berpengaruh besar pada upayanya menggeluti pertanian bermartabat.

“Selain istri, support dari berbagai sahabat, baik militer maupun sipil, adalah bagian nyata dukungan terhadap usaha tani saya di tengah kuatnya imperialisme pabrikan pupuk dengan corporate dan jaringan akar rumputnya, hingga bullying yang kami alami, karena realisasi pertanian organik punya romansa tersendiri dalam aplikasinya,” ungkap kyai yang sangat ngabudayan ini.

Sejauh langkahnya hingga sekarang, tantangan terberat yang dirasakan Yai Sus adalah minimnya tenaga kader pertanian dan minimnya modal usaha tani.

“Rangkaian pertanian, mulai dari proses tanam hingga pemasaran, ada rangkaian sistemis yang tidak sesederhana saya bayangkan sebelumnya,” Yai Sus membuka pembicaraan lebih mendalam.

Dengan situasi dan kondisi yang jauh panggang dari api, tidak menyurutkan langkah Yai Sus untuk terus berbuat. Ia merangkul berbagai elemen, bukan sebatas ketahanan pangan, tapi juga kedaulatan pangan, dengan semangat ngrukti bumi.

Srawung, ngemong, momong, dan among (merupakan) bagian strategi menuju suksesnya ngrukti bumi karena proses penyadarannya tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Perlu kebersamaan dan strategi tepat guna melihat realitas problem kader usaha tani, lahan, sarana prasarana pertanian,” paparnya serius.

Orangtua Inspiratif

Yai Sus menceritakan mozaik masa lalunya yang bernas sebagai inspirasi idealisme hari ini. Ia terlahir di antara persawahan padi Cisadane, perkebunan cengkih, dan rawa-rawa berikut ikan liarnya. Bagi Yai Sus, gubuk bambu, misalnya, memaktubkan banyak kenangan tak terlupakan, baik yang dikisahkan maupun tidak.

“Usai panen padi dan cengkih, saat saya masih berusia 5 hari, rumah kami dirampok 40 orang gerombolan garong. Hasil bumi, baik padi hingga cengkih hingga seisi rumah ludes. Ketika itu, saya (bahkan) dibungkus kasur (hingga) lebih dari 3 jam. Secara logika, saya sudah mati. Tapi Allah berkehendak lain,” kenangnya.

Selain mulang ngaji (mengajar mengaji), kehidupan ayah dan ibu Yai Sus sehari-hari tidak terlepas dari dunia tani. Petani saat itu sangat minim uang. Apalagi situasi keamanan memang kurang stabil. Meski demikian, ia merasakan kesahajaan, di mana untuk mendapatkan gizi, tidak perlu mengandalkan uang.

“Saat beras masih banyak stoknya maka makan Nasi Cisadane dan Rojolele menjadi favorit keluarga kami. Bumbu dapur tersedia di halaman rumah, beserta aneka tanaman sayur mayur yang tertanam di sekitar halaman rumah,” kali ini Yai Sus menggambarkannya lebih detail dan dapat dirasakan.

Saat itu, lanjutnya, mereka belum memiliki lemari es. Meski demikian, bumbu dapur dan sayur mayur tersedia melimpah, dan tinggal memetiknya dari pekarangan. Garam grasak (garam curah—red) menjadi satu-satunya bumbu yang harus dibeli dengan uang. Ditambah, mereka belum mengenal penyedap rasa.

“Untuk lauk pauk, tinggal ke rawa-rawa, di mana Abah membuat kolam-kolam kecil yang secara bergilir pengunduhannya, setiap hari. Selang-seling menu ikan, baik ikan gabus, lele, lembat, belut, sili, patin, pelus, udang, mujair, emas, dan lainnya, seakan-akan mudah didapat, asal mau merawat kolam ikan liar dan mau mengunduhnya,” terang Yai Sus bersaran tepat.

Ia mengaku, sungguh merindukan kenangan manis hidupnya saat masih kecil di mana uang bukan segalanya. Masa sewaktu tak ada pupuk kimia. Semua serba alami. Meski hidup masih dalam nuansa hukum rimba yang jauh dari situasi sekarang, tapi petani benar-benar memiliki harga diri.

“Dari pola ayah dan ibu kami bertani, sungguh itulah inspirasi kami jika petani itu harus berdaulat. Beliau-beliau, termasuk para leluhur kami, di mana selain mulang ngaji, mereka menopang hidup dengan usaha bertani, beternak, dan memiliki kolam ikan,” kata Yai Sus.

Dalam segala keterbatasan, Yai Sus bertekad untuk istiqomah.

“Dengan niat, nekad, tekad, dan istiqomah itulah bagian suluk (lelaku) pertanian saya. Namun terkadang, saya harus bisa realistis dan bisa membaca dan menyadari kemampuan, sehingga perlu strategi jitu untuk menghindari dan nglengganani (menyadari—red) , apabila hasil tidak sesuai harapan,” tandasnya.

Disinggung tentang gerakan Ponpes berbasis pertanian organik yang bisa go international, Yai Sus menjawab mantap, “Bismillah, yang utama kami berusaha dan realistis. Jika Allah menghendaki, tiada yang tidak mungkin terjadi.”

Jihad Pertanian

Pada 2017, Pondok Pesantren Sunan Kalijaga meluncurkan gerakan ‘Jihad Pertanian Berbasis Organik’,  yakni gerakan berbudidaya pertanian dengan pola full murni organik. Para santri dan jamaah menawarkan produk pertanian berupa harga Gabah Kering Giling (GKG) organik.

Ada Ciherang dan Ir 64 serta menthik susu. Ciherang dan 64-nya termasuk varietas biasa, sedangkan menthik susu-nya termasuk kelas premium. Apresiasi terhadap ngrukti bumi dan wujud dukungan pada Pesantren Agrotani dapat Anda dilakukan dengan membeli produk-produk Ponpes Sunan Kalijaga.


Berita Terkait

Mungkin Anda Tertarik