

Muhammad Badrus Zaman, Sang Pembela Mustadh’afin
/ Inspirasi
Seorang pengacara pejuang yang dicintai wong cilik.
Dj. Respati
Founder Kartasura Library
Tak banyak pengacara yang konsisten membela kelompok Mustadh’afin. Satu dari yang sedikit itu adalah Muhammad Badrus Zaman (MBZ). Dengan khazanah keilmuan yang mumpuni, nyali yang besar, dan jaringan yang luas, Badrus, begitu ia akrab disapa, tak ragu berdiri tegak bersama barisan buruh, kaum miskin, perempuan dan anak, serta mereka yang terpinggirkan.
Dalam lingkup kepengacaraan di Kota Solo dan sekitarnya, sosok MBZ begitu kuat. Ia didapuk menempati banyak posisi teramat penting dan selalu turut mewarnai dinamika perubahan yang terjadi. Karena itulah, nama MBZ semakin dikenal, merambah ke jenjang lebih tinggi, hingga tingkat nasional.
Rasanya tak salah dan tak berlebihan apabila publik kemudian mengenal MBZ sebagai sosok pengacara yang berandil besar dalam proses penegakan supremasi hukum di Indonesia.
Sejak masa awal pengabdian di ranah hukum, MBZ telah menunjukkan keberaniannya dalam menangani kasus-kasus kontroversial. Kasus penodaan agama Islam oleh Ahmad Wilson pada tahun 2000, misalnya, menjadi bukti bahwa perlindungan hukum harus diberikan kepada siapa pun dan tak mengenal latar belakang pribadi seseorang.
Hal tersebut tentu saja bukan bermaksud mencari popularitas. Namun kasus-kasus pidana serupa itu begitu multikompleks untuk diurai, serta membutuhkan seorang pengacara yang memiliki keprofesionalan andal. Tak sekadar memahami hukum atau pasal-pasal, ia harus bernyali, memiliki networking, berdaya juang kuat, pun penuh kerja keras, cerdas, dan tuntas. Semua itu menyatu dan melekat dalam diri MBZ.
Karenanya, MBZ memiliki hubungan dekat dengan kelompok mana pun. Hubungannya begitu cair, baik mereka yang berada di sebelah ‘kiri’ maupun ‘kanan’; dari kelompok terpelajar maupun preman.
Pembentukan Jati Diri
Lahir dari keluarga guru di Desa Tegalsari Karanggade Boyolali, MBZ adalah anak nomor dua dari lima bersaudara. Di Desa itu pula Badrus melalui masa kecilnya hingga tumbuh menjadi dewasa. Setiap pagi, untuk sampai ke sekolahnya di Madrasayah Ibtidiyah (MI) Tegalsari yang berjarak kurang lebih 2 km, ia tempuh dengan berjalan kaki.
Tamat MI, ia melanjutkan pendidikannya ke SMP Muhammadiyah Karanggede, Boyolali. Lulus dari sana, ia meneruskan jenjang pendidikan menengah ke sekolah agama, Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Suruh Kabupaten Semarang. Walau berbeda kabupaten, secara geografis, jarak tempuh ke sekolah lebih dekat dari tempat tinggalnya, daripada harus ke Boyolali kota.
Semasa mengenyam pendidikan di MAN Suruh, ketika libur sekolah, Badrus pernah mencoba hidup mandiri dengan bekerja di sebuah proyek padat karya di Salatiga sebagai kuli bangunan selama kurang lebih sebulan. Saat itulah ia merasakan ketidakadilan. Para pekerja bangunan diperlakukan tidak selayaknya manusia, penuh kesewenangan.
Sebuah kenyataan hidup yang lantas membuat hati MBZ tersakiti. Sejak itulah muncul kesadaran dalam dirinya untuk membantu dan membela kaum kecil, termasuk para buruh dan pekerja kasar.
Karena masih duduk di bangku sekolah menengah, Badrus belum memahami, apa itu ‘pengacara’. Namun, tekad perjuangan dan titik terang pembelaannya semakin jelas saat ia menempuh studi di Fakutas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS). Terlebih kala menjadi aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), ia semakin haqqul yaqin.
Kuliah dan menjadi aktivis semakin mematangkan tekad MBZ untuk melakukan pembelaan terhadap kaum marjinal, khususnya kaum buruh. Ketika itu, buruh telah menjadi isu menarik yang selalu hangat diperbincangkan oleh para aktivis dan akademisi. Pada banyak forum ilmiah, seperti seminar dan diskusi, pembahasan untuk melakukan pembelaan terhadap mereka yang tertindas selalu menarik minat MBZ.
Belum lagi asupan keilmuan dari buku-buku yang membahas hal serupa itu, misalnya Pendidikan Kaum Tertindas karya Paulo Freire, Teologi Pembebasan karya Asghar Ali Engineer, Fikih Sosial karya Sahal Mahfud, dan masih banyak lagi. MBZ seakan mendapat cambuk saat membaca buku-buku itu dan menyalakan darah juang untuk membela kelompok mustadh’afin.
Bersama organisasi kemahasiswaan MBZ menjalin relasi dengan organisasi-organisasi buruh. Ia bahkan aktif di Serikat Buruh Seluruh Indonesia (SBSI). Tahun-tahun itu, sekitar 1990-an, gerakan buruh mulai marak. Apalagi saat muncul tragedi Marsinah, seorang buruh pabrik di Sidoharjo yang mati dibunuh lantaran acap kali melakukan protes.
Keaktifan di organisasi itulah yang menempa MBZ menjadi sosok bernyali, memiliki jaringan luas, serta semakin kuat melakukan pembelaan terhadap kaum mustadh’afin, seperti buruh, kaum miskin, perempuan dan anak, serta mereka yang terpinggirkan.
Pengacara Pejuang
Tekad membela kaum buruh seperti memantapkan jalan MBZ untuk berprofesi sebagai pengacara. Karena itu, usai lulus Pendidikan S1 Sarjana Hukum UMS, MBZ tidak terpikir untuk mencari atau melamar pekerjaan, kendati kesempatan dan tawaran itu ada.
Bersama teman-teman seperjuangan sewaktu menjadi aktivis dan dosen Fakultas Hukum sekaligus senior di HMI, MBZ kemudian menginisiasi pendirian Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dan Pengabdian Masyarakat Nurani pada tahun 1997. Di tempat inilah untuk pertama kalinya MBZ menyandang status sebagai seorang pengacara.
Perjuangan menjadi pengacara tidaklah mudah. Pada masa rintisan, MBZ terbiasa naik angkutan umum, bis kota, dan colt. Terkadang ia meminjam motor saudara atau teman untuk menemui para klien. Semua itu dilakukan dengan penuh rasa senang, karena cita-cita menjadi pengacara telah mendarah daging dalam dirinya.
Kasus pertama yang ditangani mengenai perceraian. Siapa sangka, meski baru pertama kalinya beracara, MBZ memilih untuk memediasi kedua belah pihak untuk tetap bersatu dan tidak perlu berlanjut ke kepengadilan. Alhamdulillah berhasil.
Ketika meletus gerakan reformasi, MBZ dan LBH Nurani banyak membantu mahasiswa dan para buruh yang tengah berurusan dengan aparat pemerintahan maupun perusahaan untuk melakukan advokasi serta pendampingan hukum.
MBZ memimpin LBH Nurani sebagai Direktur Utama periode 2001-2005. Selama itu, ia tidak hanya concern pada persoalan hukum, namun juga pengabdian ke masyarakat, baik itu pendidikan politik maupun pemberdayaan perempuan, lewat pembangunan sarana dan prasarana.
LBH Nurani di bawah kepemimpinan MBZ turut menjadi bagian inisiasi terbentuknya Solo Corruption Watch (SCW), sebuah intstitusi yang dididirikan oleh beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk memerangi korupsi di wilayah Solo dan sekitarnya.
Pada tahun 2006, berbekal pengalaman selama beracara dan memimpin LBH Nurani, MBZ membuka kantor pengacara sendiri. Sebuah firma hukum sendiri yang diberi nama sesuai namanya yakni Kantor Pengacara Mahammad Badrus Zaman (MBZ) dan Rekan.
Meski berkantor di Pajang, Laweyan, Kota Solo, kasus-kasus yang ditangani datang dari berbagai daerah di Indonesia. Bahkan klien perusahaan besar batubara di Banjarmasin, beberapa BUMN, dan beberapa instansi Kementerian Pekerjaan Umum (PU) memercayai MBZ.
Kesuksesan menjadi pengacara dan membangun kantor firma hukum telah mengantarkan MBZ menjajal pengabdian baru, menjadi pengajar di Pendidikan Advokat beberapa perguruan tinggi, seperti UNS dan UNSA. Selain itu, ia juga sering didaulat untuk menjadi pembicara dalam forum-forum seminar maupun workshop.
Buah Pikir
Bagi MBZ, tugas utama pengacara adalah membela hak hukum dari orang yang dibelanya (klien), tak peduli latar belakang asal, agama, dan kondisi perekonomiannya. Pendek kata, siapa pun yang datang dan membutuhkan pembelaan, harus dilayani dan dibela, sesuai hak hukum menurut ketentuan peraturan yang berlaku.
Misalnya pada suatu malam, sekitar pukul 24.00, MBZ mendapatkan laporan bahwa ada warga tidak mampu di wilayah Tegalgade Karanganyar yang diperlakukan kasar, serta dianiaya dan dibrogol tanganya oleh para penagih utang (debt collector), lantaran belum bisa membayar cicilan. Jiwanya sebagai seorang pengacara pun bergerak penuh semangat untuk melakukan pembelaan secara all out. Bantuan hukumnya diberikan secara gratis kepada mereka yang tak mampu, atau dalam istilah hukum disebut pro bono.
Hukum untuk semua (justice for all). Jargon pengacara yang telah menyatu dalam darah MBZ dan betul-betul dijadikan pedoman selama malang melintang di dunia kepengacaraan. Karena itu, banyak orang yang beperkara datang untuk memintanya menjadi pembela. MBZ tidak mengejar kasus, namun kasuslah yang datang padanya.
Menurut lelaki yang selalu berpenampilan energik dan necis ini, seorang pengacara atau advokat hendaknya bisa membumi, atau dengan kata lain, dekat dengan masyarakat dan harus bisa menjunjung nilai keadilan. Sebaliknya, masyarakat juga harus berani melawan advokat yang tidak mengindahkan nilai-nilai keadilan dan kejujuran.
Dalam dunia yang terus bergerak di mana perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi tak berhenti untuk berubah, menuntut seorang pengacara untuk bersikap terbuka. Sikap terbuka dapat menuntun pada proses mendengar dan belajar.
Menurut MBZ, untuk menjadi pengacara sukses, setidaknya ada lima hal yang harus tertanam dalam diri seseorang pengacara. Pertama, senang. Dalam pandangan MBZ, senang menjadi kata kunci utama dan pertama dalam meraih sukses. Mencintai pekerjaan merupakan syarat mutlak dalam meniti karier profesional.
Segala sesuatu harus dilakukan dengan senang. Sesulit apa pun tantangan dan hambatan yang menghadang akan dihadapi dan dijalankan dengan penuh kegembiraan.
Kekurangan dan keterbatasan yang ada saat mula meniti karier bukanlah menjadi suatu beban yang memalukan, dan merasa rendah diri di hadapan sesama pengacara, klien, maupun pada waktu sidang.
Kecintaan akan profesi harus melekat dalam hati, tanpa terpengaruh dengan atribut-atribut yang bersifat materi. Karena hal tersebut dapat membuat hati nyaman, ceria, dan percaya diri.
Kedua, sabar. Kesabaran diperlukan karena untuk mencapai kata selesai, suatu kasus acap kali memakan waktu yang lama. Dibutuhkan tingkat kesabaran yang besar bagi pengacara dalam menghadapi penyelesaian suatu kasus.
Kunci ketiga, yakni terus belajar. Masyarakat yang dinamis serta produk peraturan perundangan yang terus berubah dan tumbuh menuntut seorang pengacara untuk senantiasa belajar, baik dalam pengertian formal, yakni kuliah ke jenjang yang lebih tinggi, maupun turut dalam forum-forum diskusi, seminar, simposium workshop, dan sebagainya, lebih khusus isu-isu dunia hukum.
Apalagi setiap tahun berbagai peraturan produk hukum hadir, dan ketika sudah disahkan oleh pemerintah, telah menjadi dasar hukum. Seorang pengacara profesional harus memahami hal itu. Undang-Undang Cipta Kerja, misalnya, ketika sudah disahkan, seorang pengacara dituntut untuk mempelajarinya.
Keempat, perkaderan. Kesuksesan seorang pengacara tidak saja ditentukan oleh seberapa banyak kasus yang pernah ditangani, atau seberapa besar harta yang telah dikumpulkan. Menurut MBZ, seorang pengacara sukses akan memberikan jalan bagi para pengacara yang lebih muda untuk tumbuh dan berkembang. Bukan hanya itu, pengacara sukses sebaiknya menyediakan tempat bagi kaum muda untuk belajar, sekaligus memberi kesempatan dan kepercayaan untuk tumbuh besar dan maju.
Terakhir, kelima, bergerak atau bersosialisasi. Seorang pengacara akan sukses manakala terus bergerak untuk bersilaturahim, bukan berdiam diri di rumah maupun kantor. Bersosialisasi ke masyarakat, menyapa warga, bersilaturahmi kepada sesama profesi maupun merawat pertemanan menjadi hal yang wajib dilakukan.