Presiden Prabowo memberi selamat Timnas Indonesia usai mengalahkan Bahrain. (IG: Prabowo)
Takdir Berkemampuan : Presiden Prabowo memberi selamat Timnas Indonesia usai mengalahkan Bahrain. (IG: Prabowo)
Presiden Prabowo memberi selamat Timnas Indonesia usai mengalahkan Bahrain. (IG: Prabowo)

Takdir Berkemampuan

Takdir berkemampuan mewakili potret kepemimpinan negeri ini, juga kronik kegotong-royongan kita sebagai bangsa.


Arif Giyanto
Chairman Pandiva. Penulis buku Kelas Menengah Progresif.

 

Suatu waktu, Afra Nadia, anak kedua saya berusia 4 tahun, pernah menuturkan sedikit kegundahannya. Tiga kawan sekelasnya terpilih sebagai delegasi sekolah dalam kejuaraan lomba pentas kesenian angklung. Sebenarnya, lomba ini diperuntukkan bagi anak-anak yang lebih senior. Tapi karena dirasa mampu, siswa-siwi angkatan Afra turut dilibatkan dengan kualifikasi tertentu.

Ketika ia bercerita tentang School Calling tersebut, saya meyakinkan Afra untuk sepenuh hati menyemangati kawan-kawannya, karena dukungan sangatlah penting. Jadi, bila hendak sesi latihan, sementara kelas belum selesai, dan tiga kawannya harus keluar kelas terlebih dahulu, Afra sumringah memberi semangat.

Selang bulan berlalu, entah dengan pertimbangan apa, Afra mendapatkan School Calling. Berangkat dari pengalaman sebelumnya, sekolah hendak menjajal kejuaraan yang lebih besar dan lebih kompetitif. Afra terpilih menjadi delegasi sekolah.

Menuju Hari-H, latihan ekstra digelar bertahap. Artinya, Afra harus merelakan makan siang tepat waktu, tidur siang, dan kesempatan bermain usai sekolah. Awalnya, ia terlihat senang. Lama-kelamaan, kelelahan mulai terasa hebat. Afra bahkan jatuh sakit dan harus ke Bethesda.

Afra mulai mengeluh. Jari tangannya sobek lantaran belum lihai memainkan angklung. Tidurnya menjadi lebih lama dari biasanya. Ia jarang bercerita tentang materi-materi bermain dan belajar yang biasanya ia kisahkan sewaktu pulang sekolah. Afra bahkan sempat tak mau berangkat sekolah, saking tak kuatnya.

Ketika itu, tampaknya Afra mulai paham bahwa menjadi seseorang yang terpilih tidak semenyenangkan yang dikira. Keterpilihan berkonsekuensi pada beban dan tanggung jawab yang besar dan bisa saja mengubah kebiasaan-kebiasaan mapan.

Hari yang ditunggu pun tiba. Hujan deras turun mengguyur jalanan menuju lokasi lomba. Setibanya di sana, audiens membludak dan menyulitkan banyak pihak. Belum lagi, antrean panjang peserta. Singkat cerita, pementasan pun berhasil, meski tak sama persis dengan apa yang dilatihkan.

Usai pementasan, tangisan Afra meledak. Mengharu-biru. Ia berteriak, ingin segera pulang. Ia tak lagi peduli pada sesi pemotretan yang bagi banyak orang tua, justru menjadi bagian pentingnya.

Melihat ekspresi Afra yang tak terkendali, pulang terlebih dahulu menjadi satu-satunya pilihan. Sepanjang jalan, Afra tak banyak bicara. Sepertinya, ia sudah sampai pada puncak akumulasi usaha keras. Ia merasa telah menyudahi kewajiban.

Tak berapa lama beristirahat di rumah, kabar dari sekolah datang. Afra dan kawan-kawannya, Juara I. Kerja keras itu berbuah kebanggaan dan kehormatan. Afra seperti turut menulis sejarah sekolah tempat ia bermain, pun menyematkan sejarahnya sendiri. Sebuah capaian yang tak lahir hanya dari tangannya, tapi juga tangan-tangan para guru dan orang tua.

Wenang dan Kuasa

Berangkat dari kisah Afra tersebut, saya berpikir, sekian masa, perihal ‘mampu’ dan ‘mau’ memang sering kali menjadi persoalan fundamental perubahan. Terlebih, tentang praktik kebaikan. Terlebih lagi, tentang kewenangan dan kekuasaan.

Seseorang yang mampu tapi tak mau sama buruknya dengan seseorang yang mau tapi tak mampu. Seseorang yang mampu dan mau tapi merasa tidak berkesempatan, berarti ia sebenarnya tak mau. Seseorang yang mampu dan mau tapi tidak memberi kesempatan kepada orang lain, berarti ia sebenarnya tak mampu.

Barbara Kellerman, dalam karyanya berjudul Bad Leadership: What It is, How It Happens, Why It Matters yang terbit tahun 2004 oleh Harvard Business School Press, berpandangan bahwa kepemimpinan buruk teringan yakni inkompetensi, sedangkan kepemimpinan buruk terparah ketika para pemimpinnya berperilaku jahat.

Inkompetensi bermuara pada ketidakefisienan kepemimpinan, sementara perilaku jahat pemimpin berujung pada ketidaketisan banyak hal. Inkompetensi tampak pada para pengikut yang tidak memiliki keterampilan sekaligus kemauan untuk mempertahankan tindakan efektif. Selanjutnya, derajat kepemimpinan jahat terlihat dari consciousness of the crime dan scale of the crime.

Lihatlah betapa tidak bermanfaatnya sebuah kepemimpinan yang buruk. Suatu ketika, Sang Rasul Allah, Muhammad SAW, pernah bersabda, “Apabila amanah sudah hilang maka tunggulah terjadinya kiamat.” Seorang Arab Badui bertanya, “Bagaimana hilangnya amanah itu?” Kanjeng Nabi Muhammad lantas menjawab, “Apabila suatu urusan diserahkan bukan kepada ahlinya maka tunggulah terjadinya kiamat.” Hadits ini diriwayatkan Al-Bukhari.

Jangan lupa, ketika ditakdirkan berkemampuan, niscaya tanggung jawab yang diemban bukanlah hal kecil dan remeh-temeh. Takdir berkemampuan yang bisa saja mewakili potret kepemimpinan negeri ini, kronik kegotong-royongan kita sebagai bangsa, termasuk Timnas Indonesia yang tengah berjuang lolos ke Piala Dunia 2026.

Apakah Anda tengah terpilih? Apakah Anda merasa mampu dan mau? Bersegeralah.

Editor: Astama Izqi Winata


Berita Terkait

Mungkin Anda Tertarik