

Sukma Cita Hamdan
/ Inspirasi
Hamdan adalah potret api tekad yang tak pernah padam.
Arif Giyanto
Chairman Surakarta Daily
Malam itu, rasanya tak akan pernah terlupakan. Bandul waktu menunjuk awal tahun 2003. Beberapa pimpinan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Pabelan Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) tampak berkumpul darurat. Sebuah keputusan penting tengah dinanti.
Aksi demonstrasi mahasiswa kembali merebak. Kepemimpinan nasional di bawah Presiden Megawati dan Wakil Presiden Hamzah Haz dinilai para demonstran tak mampu membawa kehidupan rakyat lebih baik. Harga bahan bakar minyak (BBM) naik. Tarif dasar listrik naik. Harga gas elpiji naik. Biaya pendidikan meningkat signifikan. Belum lagi, penjualan sejumlah aset negara yang dinilai kontroversial.
Mahasiswa turun ke jalan-jalan Kota Solo. Kian hari, situasi kian eskalatif. Mega-Haz dituntut mundur. Sejak Presiden Soeharto dilengserkan tahun 1998, gerakan mahasiswa berkali-kali melakukan hal serupa pada presiden-presiden selanjutnya dengan berbagai tuntutan yang relevan.
Malam semakin pekat, tapi obrolan pimpinan Pabelan belum purna. Dalam waktu dekat, Pabelan hendak menggelar Diskusi Kebangsaan bertema kritisme atas kebijakan ekonomi dan politik pemerintah. Dua narasumber telah disepakati. Bambang Setiaji dan Aidul Fitriciada Azhari. Keduanya dianggap kompeten dan sama-sama dosen UMS.
Diskusi Kebangsaan rencananya mengundang semua elemen gerakan mahasiswa Solo, baik intern maupun ekstern. Animo besar yang tengah bergulir diharapkan menjadi faktor kunci kesuksesan acara. Kedatangan mereka ke UMS tentu saja dapat memperkuat reputasi UMS sebagai perguruan tinggi yang tak pernah surut aktivismenya.
Hari yang dinanti pun datang. Auditorium UMS penuh sesak. Lantaran euforianya begitu terasa bahkan tanpa undangan resmi, mereka datang. Pihak UMS tidak mempersoalkan itu. Para peserta luber hingga ke taman-taman dan areal bawah Masjid Fadhlurrahman. Dari sekian banyak yang hadir, ada beberapa sosok yang terlihat tidak familier. Dari fisik dan penampilannya, tampak jelas bahwa mereka bukan mahasiswa, juga bukan wartawan.
Diskusi dibuka. Karena termasuk forum ilmiah, biasanya diskusi diatur protokoler. Namun, berbeda kali ini. Ketika mikrofon dipegang, panggung dipijak, atau podium diisi, pekik perjuangan terdengar gemuruh dan berhasil membakar semangat para mahasiswa yang hadir.
Tibalah giliran pihak penyelenggara. Fitrah Hamdani, Sang Manajer Diskusi dan Pelatihan, naik ke atas panggung. Audiens tiba-tiba senyap. Hamdan berjalan menuju podium. Jelang beberapa langkah sampai ke mimbar, kru Pabelan lain sontak kaget alang kepalang. Tak terpikirkan sebelumnya. Mereka baru sadar bahwa ukuran tubuh Hamdan tak sebanding dengan podium. Teknisnya, bila ia berdiri di mimbar, jelas tak terlihat audiens.
Dalam kegentingan yang tak disengaja itu, keajaiban terjadi. Hamdan dengan yakin meraih mikrofon di atas podium, lantas membawanya ke depan para hadirin. Ia tak masuk ke mimbar. Tanpa ragu, orasinya pun meledak, “Hidup Mahasiswa! Hidup rakyat!”
Teriakan Hamdan disambut audiens dengan berapi-api. Semua jiwa larut dalam semangat perjuangan, demi kehidupan yang lebih baik. Sebuah kronik perjalanan yang layak dikisahkan. Tentang sumbangsih keilmuan bernuansa jalanan yang didedikasikan pada perubahan dan pengabdian kepada Sang Pencipta.
Selagi Bisa
Hamdan memang bukan figur sembarangan. Bukan karena nasab, kekayaan, atau kekuatan fisik. Ia mumpuni lantaran rela ditempa keadaan. Terbentur, terbentuk, hingga terbentuk. Bisa saja lelah, tapi pantang goyah. Mungkin takut, tapi tak penakut. Menepikan kemuraman dan mengentaskan keluhan.
Hamdan pernah bertutur, seorang paman yang sangat ia hormati memaksanya untuk terbiasa membaca. Bila dirasa belum cukup, meski Hamdan mulai tampak mengantuk, Sang Paman tak berkompromi. Ia sediakan baskom berisi air hangat untuk merendam kaki keponakannya agar mata tetap terjaga dan menuntaskan bacaan.
“Kamu harus pintar. Mau jadi apa kamu, kalau tidak pintar? Kamu pikir, orang-orang akan mengasihanimu?” ucap Sang Paman, setengah berteriak.
Beruntung, Hamdan dikelilingi guru-guru berdedikasi di Pondok Shabran. Miliu yang perlahan membentuk cara pandangnya atas idealisme. Di sana, ia mendengar, bertanya, menulis, merenung, berkawan, dan berkeluarga. Meski berasal dari keluarga Muhammadiyah yang solid, Hamdan terlihat lebih Persyarikatan saat nyantri banyak hal di Pondok Shabran.
Sejarah mencatat, Hamdan adalah Ketua Umum Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Cabang Sukoharjo. Apresiasi yang setimpal atas kemumpuniannya dalam berorganisasi, kaderisasi, dan kepemimpinan. Bagi aktivis IMM, nama Hamdan terpatri harum sebagai peletak fondasi berpikir kritis pun teladan yang inspiratif.
Hamdan merilis buku pertamanya berjudul Tanda Pembunuh: Kapitalisme Global di Balik Semiotika Media tak lama setelah ia mentas dari kepengurusan LPM Pabelan. Langkah yang hampir mustahil bagi rekan-rekan sejawat. Jangankan menulis buku. Yakin pada tulisan yang kelak dapat berpengaruh pada masa depan saja belum tentu hadir di benak kalangan fresh graduate. Hamdan berbeda.
Kemarin, Kamis (15/5/2025), dalam Sidang Terbuka Promosi Doktor Ilmu Hukum UMS, Hamdan mempertahankan studinya berjudul ‘Ilmu Hukum Profetik (Dialektika Norma Berkualitas Ought dalam Pure Theory of Law Hans Kelsen Perspektif Imam Al-Ghazali dalam Konsep Taklifi)’.
Di depan para penguji, Hamdan mengungkapkan pandangannya tentang Ilmu Hukum Profetik yang dapat menjadi jawaban atas krisis nilai dalam praktik hukum modern. Ia menyoroti kekosongan nilai dalam teori hukum positivistik Hans Kelsen yang hanya bersifat normatif dan netral serta tidak mempertimbangkan dimensi moral maupun nilai keagamaan.
Hamdan kemudian mengungkapkan pandangan Imam Al-Ghazali tentang norma taklifi yang memiliki bobot spiritual dan etis mendalam. Hukum taklifi tidak hanya mengatur tindakan manusia, tetapi juga menuntun kesadaran dan akhlak.
Selanjutnya, Hamdan menggunakan pendekatan filsafat hukum, terutama teori dialektika Hegel, untuk menyatukan dua kutub pemikiran. Hukum positivistik Kelsen ditempatkan sebagai tesis, sementara hukum profetik Al-Ghazali menjadi antitesis. Hasilnya adalah sintesis, berupa Ilmu Hukum Profetik.
Hamdan menggarisbawahi, Ilmu Hukum Profetik tidak hanya berbasis rasionalitas atau pengalaman empiris, tapi juga berpijak pada intuisi murni dan kesadaran ilahiah. Pendekatan tersebut dapat menjadi alternatif bagi sistem hukum Indonesia yang masih dominan dengan mazhab positivisme. Ilmu Hukum Profetik, sambungnya, dapat melahirkan keadilan substantif di tengah kompleksitas hukum saat ini. Sebab, insan profetik mampu menghidupkan kesadaran ketuhanan dalam penegakan keadilan.
Hadirin bertepuk tangan. Para penguji terkagum-kagum. Dekan Fakultas Hukum, Kelik Wardiono, bahkan hampir terisak ketika memberikan sambutan penutup. Suasananya terasa begitu emosional. Benar, semua orang mencintai Hamdan, dengan caranya masing-masing.
Hamdan adalah potret api tekad yang tak pernah padam. Itu sebabnya, takdir baik terus menghampiri. Sukma cita Hamdan akan terus hidup dalam relung hati semua orang yang mengenalnya. Selagi bisa, lakukan hal baik dengan cara baik, bagaimanapun keadaannya.
Editor: Astama Izqi Winata