

Sabar Narimo, Guru Besar Alumnus Pers Mahasiswa
/ Inspirasi
Latar belakang aktivisme melahirkan Guru Besar yang mampu memotret persoalan nyata dan mengangkatnya dalam kajian akademik yang mumpuni.
Nurkhamid Alfi
Konsultan Bisnis. Alumnus Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Video pidato pengukuhan Prof Sabar Narimo di UMS Solo, viral. Berbagai WAG yang saya ikuti menerima pesan itu. Memang singkat. Berupa ‘guyonan’ yang menghibur. Selingan atas pidato ilmiah pada pengukuhannya sebagai Guru Besar. Justru karena itu, menjadi daya tarik tersendiri, sehingga viral.
Sebagai juniornya ketika masih aktif sebagai aktivis mahasiswa, saya bangga tetapi sekaligus sedikit prihatin. Karena, substansi dari pidato ilmiahnya tidak ada di video itu. Maka video komplit yang berisi pidato ilmiah dari Mas Sabar saya kirim ke semua WAG, supaya bisa dipahami secara menyeluruh. Utuh. Tidak terpotong ‘guyonan’ itu.
Pidato selingan yang lucu-lucu itu sejatinya bagian dari services, supaya audience tertarik. Itu biasa dalam dunia marketing. Sementara gagasan ilmiah yang disampaikan pada pidato adalah products yang dipasarkannya.
Dalam ilmu marketing, untuk memasarkan sebuah products dibutuhkan branding, publicity, promotion, advertising, dan services. Semua itu bermuara pada products agar bisa diterima dengan baik oleh khalayak ramai.
Pidato ilmiah Mas Sabar dalam pengukuhannya sebagai Guru Besar UMS berjudul, ‘Culturally Responsive Teaching dalam Pembelajaran Hasthalaku Sekolah Adipangastuti’. Terjemahan bebas dari Culturally responsive teaching adalah pengajaran responsif secara budaya. Tujuannya untuk mengeksplorasi potensi akademik siswa secara lebih baik dengan mengintegrasikan referensi budaya mereka di dalam kelas.
Culturally responsive teaching pertama kali diperkenalkan pada dekade 1990-an oleh Gloria Ladson-Billingsan, seorang ahli teori pedagogi dari Amerika Serikat. Peneliti Geneva Gay mendefinisikannya lebih aplikatif. Menurutnya, pengajaran yang responsif secara budaya berarti menggunakan kebiasaan, karakteristik, pengalaman, dan pandangan siswa sebagai alat untuk pengajaran di kelas yang lebih baik.
Ada tiga komponen pedagogi yang relevan secara budaya. Pertama, pembelajaran siswa dengan titik pusat pertumbuhan intelektual. Kedua, kompetensi budaya, yakni menciptakan lingkungan kondusif. Ketiga, kesadaran kritis yang mengajarkan siswa agar mampu mengindentifikasi, menganalisis, dan memecahkan persoalan nyata di masyarakat.
Pidato ilmiah Mas Sabar sangat menarik, tidak membosankan, bahkan sering mengundang rasa penasaran. Ini karena Mas Sabar mampu mengangkat persoalan riil di masyarakat lalu dianalisis dengan pendekatan akademik. Uraian seperti itu tidak terlepas dari latar belakang Mas Sabar sebagai mantan aktivis pers mahasiswa.
Alumnus Pers Mahasiswa
Saya pertama kali bersinggungan dengan Sabar Narimo ketika mengikuti pendidikan pers mahasiswa tingkat dasar di UMS Solo, pada tahun 1984. Dia adalah Ketua Panitia Penyelenggaranya. Jelang beberapa bulan setelah itu, Sabar Narimo juga menjadi Ketua Pelaksana Musyawarah Kerja Lembaga Pers Mahasiswa Pabelan UMS. Dari momentum ini, saya mulai aktif di pers mahasiswa.
Di kalangan juniornya, ada beberapa hal yang menonjol dari Prof Sabar. Pertama, dia mampu mengartikulasikan dan mempresentasikan sebuah gagasan menjadi menarik, karena kepandaiannya dalam membikin guyonan secara sepontan. Kedua, wajahnya ganteng bahkan sangat ganteng untuk ukuran mahasiswa. Gerak-geriknya menarik bahkan kumisnya mirip bintang film Herman Felani. Ketiga, namanya sendiri, yakni Sabar Narimo. Sebuah nama yang sangat eksotis. Bermakna tinggi dalam falsafah Jawa Kuno, ‘perilaku hidup yang ikhlas seikhlas-ikhlasnya.
Semoga prestasi akademik tertinggi yang telah diraihnya itu akan banyak berguna bagi kemajuan pendidikan. Salam hormat.