Rektor kedua IAIM Surakarta, Prof Mukhtar Yahya. (UIN Suka)
Mukhtar Yahya, Rektor IAIM Surakarta Dua Belas Tahun : Rektor kedua IAIM Surakarta, Prof Mukhtar Yahya. (UIN Suka)
Rektor kedua IAIM Surakarta, Prof Mukhtar Yahya. (UIN Suka)

Mukhtar Yahya, Rektor IAIM Surakarta Dua Belas Tahun

/ Inspirasi

Oleh Persyarikatan, IKIP Muhammadiyah Surakarta dan IAIM Surakarta digabung menjadi Universitas Muhammadiyah Surakarta.


Agus Sumiyanto
 

Mei 1935 menjadi momentum bersejarah bagi Mukhtar Yahya, seorang anak muda 28 tahun asal Balingka, Koto, Agam, Bukittinggi, Sumatera Barat. Ketika itu, ia hadir dalam Kongres Pendidikan Nasional di Kota Solo sebagai utusan dari Islamic College. Kiprah tersebut memungkinkannya untuk berinteraksi dengan sosok besar, Djuanda, Sang Direktur Algemene Middelbare School (sekolah menengah umum) yang dikelola Muhammadiyah.

Tak hanya Kota Solo, Mukhtar juga bertandang ke Yogyakarta. Ia belajar pada Ki Hadjar Dewantara dan tokoh-tokoh Muhammadiyah. Pemahaman Mukhtar akan cita-cita pendidikan nasional dan pergerakan nasional menjadi semakin kental.

Ia juga tak asing dengan gerakan Persyarikatan Muhammadiyah yang baru berusia 23 tahun. Sebuah gerakan yang menekankan pentingnya pendidikan demi mencerdaskan kehidupan berbangsa, serta menciptakan generasi unggul dengan pendidikan holistik, meliputi aspek intelektual, spiritual, dan moral.

Semua khazanah keilmuan yang ia dapatkan dari Pulau Jawa dalam rentang waktu sekira satu dekade tersebut kemudian ia amalkan dengan baik di tanah Minangkabau. Sejumlah amanah penting pun ia tanggung, terutama dalam ranah pendidikan Islam modern, mulai dari Direktur Islamic College Padang, Kepala Jawatan Agama Provinsi Sumatra, hingga anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).

Pada tahun 1950, Mukhtar turut membidani pelembagaan Insitut Agama Islam di Yogyakarta dari Fakultas Agama Universitas Islam Indonesia (UII) menjadi Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN). Tahun 1956, Mukhtar diangkat menjadi Guru Besar bidang Ilmu Tafsir pertama di Indonesia. Ia bahkan Guru Besar pertama di bidang Agama Islam secara umum. Guru Besar Ilmu Tafsir ternama lain muncul setelahnya, yakni Abdul Djalal, Quraish Shihab, dan Salman Harun.

Memasuki tahun 1960, PTAIN digabung dengan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) Jakarta, lantas berubah nama menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) dan berpusat di Yogyakarta. Pada masa ini, Prof Mukhtar diamanahi sebagai Dekan Fakultas Ushuluddin.

Tanggal 16 April 1962, Prof Mukhtar menjabat sebagai Dekan Fakultas Tarbiyah. Jabatan tersebut dipegang Prof Mukhtar hingga 15 Juli 1972. Selain menjabat Dekan Fakultas Tarbiyah, ia Pembantu Rektor Bidang Akademis Urusan Ilmu Pengetahuan Agama.

Dalam rentang periode ini, persisnya tahun 1968, Prof Mukhtar lantas diamanahi Persyarikatan Muhammadiyah sebagai Rektor Institut Agama Islam Muhammadiyah (IAIM) Surakarta, menggantikan Mohammad Sanusi Latief. Bukan hanya berdedikasi tinggi, Rektor Mukhtar bahkan memimpin IAIM Surakarta hingga 12 tahun lamanya hingga 1980.

IAIM Surakarta lahir berdasarkan Surat Keputusan Menteri Agama Nomor 21 Tahun 1966, atau enam tahun sedari IAIN dirilis pemerintah. Istimewanya, meski IAIN lahir di Yogyakarta, IAIM pertama justru dibangun Persyarikatan di Surakarta.

Perguruan tinggi ini hadir setahun setelah disahkannya Institut Keguruan Ilmu Pendidikan (IKIP) Muhammadiyah Surakarta. Muncul pada tahun 1958, IKIP Muhammadiyah Surakarta dahulu bernama FKIP Muhammadiyah Jakarta Cabang Surakarta. Apabila IKIP Muhammadiyah Surakarta berada di bawah koordinasi Kementerian Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan, IAIM Surakarta berada di bawah koordinasi Kementerian Agama.

IAIM Surakarta mengelola dua jurusan, yaitu Jurusan Tarbiyah dan Ushuluddin, masing-masing dalam status ‘Terdaftar’. Jurusan Tarbiyah mengajarkan kependidikan Islam, sedangkan Ushuluddin mempelajari perbandingan agama-agama. Dua jurusan ini, secara keilmuan, sejak lama familier di kalangan Persyarikatan. Artinya, IAIM Surakarta seperti mereproduksi pengetahuan-pengetahuan itu dalam kerangka pendidikan formal.

IKIP Muhammadiyah Surakarta berada di Kompleks Perguruan Muhammadiyah di Jalan Brigjen Sudiarto No. 60 Kerten yang kemudian berganti nama menjadi Jalan Slamet Riyadi No. 443 dan sekarang berdiri kokoh di sana, bangunan SMP Muhammadiyah 5 Surakarta. Sedikit masuk ke Kota Solo, IAIM Surakarta berkampus di Balai Muhammadiyah Cabang Kottabarat, Mangkubumen, Banjarsari.

Sumbangsih Bersejarah

Tidak berapa lama usai IAIM Surakarta dinyatakan sebagai perguruan tinggi mandiri pada tahun 1966, tokoh-tokoh Muhammadiyah di Ponorogo kemudian menginisiasi lahirnya IAIM Surakarta Cabang Ponorogo dengan membuka Fakultas Tarbiyah Jurusan Pendidikan Agama Islam. Pada masa selanjutnya, pada tahun 1982, dengan semakin membaiknya performa, perguruan tinggi ini berubah menjadi Universitas Muhammadiyah Ponorogo (UMPO).

Sukses di Ponorogo, giliran Muhammadiyah Pacitan yang bergerak pada tahun 1969 mendirikan IAIM Surakarta Cabang Pacitan. Lima tahun kemudian, yakni pada tahun 1974, IAIM Pacitan berdiri sendiri dengan fakultas andalan, Tarbiyah. Ketika memasuki tahun 1989, berubah nomenklatur menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Muhammadiyah Pacitan. Lebih dari setengah abad sejak pendiriannya, tepatnya tahun 2020, kampus ini berubah menjadi Institut Studi Islam Muhammadiyah (ISIMU) Pacitan.

Pada tahun 1970, berdiri pula IAIM Surakarta Cabang Klaten. Lima tahun setelahnya, atau pada tahun 1975, IAIM Klaten berdiri sendiri dengan membuka Fakultas Tarbiyah dan Fakultas Ushuluddin. Selanjutnya, pada tahun 1999, kampus tersebut berubah menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam Muhammadiyah (STAIM) Klaten.

Pada masa-masa itu, baik IKIP Muhammadiyah Surakarta maupun IAIM Surakarta belum memiliki gedung perkuliahan sendiri. Sebuah ekosistem pendidikan yang terbilang masih serba-terbatas. Jumlah mahasiswanya pun masih sangat sedikit. Jumlah jurusan atau program studi yang dikeloka juga belumlah banyak. Ditambah pengelolaan perguruan tinggi yang masih samben atau dianggap sebagai pekerjaan kedua setelah pekerjaan utama diselesaikan.

Dua kampus tersebut sedang dalam pencarian format pengelolaan dan kepemimpinan yang ideal, sedangkan pada kenyataannya, tantangan pengelolaan perguruan tinggi masih sangat sederhana. Di sisi lain, pada waktu itu, kesempatan masyarakat luas untuk kuliah di perguruan tinggi yang masih minim juga berpengaruh pada proses pertumbuhan IKIP Muhammadiyah Surakarta dan IAIM Surakarta.

Para pimpinan, dosen, dan karyawan tidak jarang mendapatkan honor yang baru diterimakan tiga bulan sekali. Tidak mudah menjalaninya, jelas. Tapi begitulah adanya. Sebentuk dedikasi dan keikhlasan dalam membesarkan Persyarikatan Muhammadiyah. Banyak yang mengistilahkannya dengan ‘pengabdian dan perjuangan dalam berkhidmat di Muhammadiyah’. Dengan begitu, semua tugas dan peran yang begitu berat masih terus dapat berjalan.

Seiring waktu, justru etos dan mentalitas perjuangan ala Muhammadiyah itu berhasil membentuk kekhasannya sendiri. Artinya, sama-sama kuliah di perguruan tinggi, seorang mahasiswa dapat merasakan dan belajar banyak tentang manajemen Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) di lingkup pendidikan. Manajemen yang dapat menginspirasi, sebab didukung oleh orang-orang yang berkomitmen kuat meski pada kenyataannya, kampus masih sangatlah sederhana.

Menjadi UMS

Memasuki tahun 1975, berkembang kabar tentang keinginan yang kuat dari pemerintah pusat untuk mendirikan sebuah universitas negeri yang representatif di Kota Solo. Untuk mewujudkannya, dimulailah sebuah langkah besar, yakni membentuk Universitas Gabungan Surakarta (UGS).

Akhir Desember 1975, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Teuku Mohammad Syarif Thayeb, berkunjung ke Surakarta untuk memastikan bahwa UGS telah siap diubah statusnya menjadi perguruan tinggi negeri. Rencananya, UGS akan digabung dengan perguruan tinggi negeri dan swasta lain yang ada di Kota Solo.

Pada kenyataannya, ada dua perguruan tinggi di Kota Solo yang tidak setuju untuk bergabung, yakni IKIP Muhammadiyah Surakarta dan IAIM Surakarta. Dengan penuh keyakinan, para pimpinan menyatakan kemandirian AUM Persyarikatan sebagai hal penting yang tak bisa ditawar-tawar.

Akhirnya, pada tanggal 11 Maret 1976, perguruan tinggi negeri Kota Surakarta pun lahir dengan nama Universitas Negeri Surakarta (UNS) Sebelas Maret. Pada masa selanjutnya, nama ini dibuat lebih ringkas dengan sebutan Universitas Sebelas Maret.

Selang setahun setelah Muktamar ke-40 di Surabaya, pada 1979, Rektor IKIP Muhammadiyah Surakarta, Mohamad Djazman Al-Kindi kemudian memprakarsai penggabungan IKIP Muhammadiyah Surakarta dan IAIM Surakarta. Prakarsa penggabungan pun terwujud dengan turunnya SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0330/O/1981.

Tepat pada Hari Sabtu Pon, 24 Oktober 1981, bersamaan dengan tanggal 26 Dzulhijjah 1401 H, IKIP Muhammadiyah Surakarta dan IAIM Surakarta resmi digabung dan bertransformasi menjadi Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS).

Bibliografi

Sabar Narimo. 2023. Sinergitas Badan Pembina Harian dan Rektorat dalam Pengembangan Universitas Muhammadiyah Surakarta 1980-2023. Sukoharjo: Sekretariat BPH UMS.

Umar Asasuddin Sokah. 2000. Prof. Dr. H. Mukhtar Yahya. Yogyakarta: UIN Suka.

Editor: Arif Giyanto


Berita Terkait

Mungkin Anda Tertarik