Monumen Dalang Ki Narto Sabdo di Jalan Merbabu Kota Klaten. (Sentot Suparna)
Mengenang Ki Narto Sabdo, Dalang Pembaru Asli Klaten : Monumen Dalang Ki Narto Sabdo di Jalan Merbabu Kota Klaten. (Sentot Suparna)
Monumen Dalang Ki Narto Sabdo di Jalan Merbabu Kota Klaten. (Sentot Suparna)

Mengenang Ki Narto Sabdo, Dalang Pembaru Asli Klaten

/ Inspirasi

Ki Narto Sabdo menyajikan wayang penuh inovasi hingga akhirnya disukai berbagai generasi.


Sentot Suparna
Founder Lori Gondang Library


Hingga kini, kesenian wayang masih eksis sebagai tontonan yang diminati masyarakat. Pertunjukan wayang sering dijumpai pada perhelatan atau hajatan sebuah instansi maupun perorangan. Demikian pula dalam acara adat dan momentum tradisional Jawa, pagelaran kesenian wayang kerap diselenggarakan. Kesenian wayang adalah warisan budaya bangsa, bagian dari kehidupan masyarakat yang memang harus dilestarikan.

Upaya setiap daerah untuk menjaga eksistensi kesenian wayang berbeda-beda. Salah satu pilar pelestarian kesenian wayang di Jawa Tengah yakni Klaten. Dalam dunia kesenian wayang atau juga disebut dunia ‘pakeliran’, Klaten memiliki reputasi membanggakan sebagai daerah cikal bakal para dalang kondang. Sebut saja Ki Narto Sabdo, ‘Sang Legenda’ dunia pakeliran yang karya-karyanya masih eksis hingga sekarang.

Ki Narto Sabdo lahir di Desa Pandes, Kecamatan Wedi, Kabupaten Klaten, tahun 1925, dengan nama Soenarto. Sejak remaja, Soenarto sudah aktif di dunia seni, antara lain kesenian keroncong, kethoprak, dan wayang orang. Pada usia 20 tahun, Soenarto hijrah ke Semarang, bergabung dengan kelompok kesenian wayang orang (WO) Ngesti Pandowo pimpinan Ki Sastro Sabdo. Sejak bergabung dengan WO Ngesti Pandowo, Soenarto mulai serius mempelajari ilmu pedalangan.

Baru beberapa tahun bergabung dengan WO Ngesti Pandowo, Soenarto pun menjadi anak kesayangan Ki Sastro Sabdo. Sebagai seniman senior, Ki Sastro Sabdo sangat kagum pada bakat dan kemampuan Soenarto. Kekaguman tersebut diwujudkan dengan mencantumkan nama ‘Sabdo’ di belakang nama Soenarto. Itulah mengapa Soenarto berganti nama menjadi Narto Sabdo.

Popularitas Ki Narto Sabdo sebagai dalang berawal sejak penampilanya di Jakarta yang disiarkan langsung melalui RRI tahun 1958. Kepiawaian Sang Dalang dalam melakonkan ‘Kresna Duta’, langsung mendapat tempat di hati masyarakat luas dan para pejabat, termasuk Presiden Soekarno.

Di kemudian hari, Ki Narto Sabdo menjadi dalang kesayangan Bung Karno dan sering dipanggil untuk ndalang di Istana. Didorong reputasinya sebagai dalang kondang, pada tahun 1968, Ki Narto Sabdo membentuk Paguyuban Karawitan Condong Raos sebagai karawitan pengiring pada setiap penampilannya.

Dalang Pembaru

Sebagai seorang dalang, Ki Narto Sabdo memiliki karisma yang mampu membawa emosi penonton atau pendengar, seolah terlibat langsung dalam lakon wayang yang dimainkannya. Suluk, otowacono, hingga banyolan Sang Dalang, didukung khazanah sastra yang mumpuni, mampu menyuguhkan pemaknaan yang dalam terhadap dunia wayang sebagai kehidupan nyata.

Tidak heran bahwa karisma sang dalang mampu membentuk fanatisme di kalangan penggemarnya. Mereka lebih memilih tidak menyaksikan atau mendengar pagelaran wayang kalau bukan Ki Narto Sabdo yang melakonkan.

Ki Narto Sabdo dikenal sebagai tokoh pembaru dunia pakeliran yang sangat produktif. Pemikiran, performa, dan karya-karyanya merupakan media kesinambungan wayang gagrag lawas yang cenderung bernuansa klasik bahkan terkesan kaku dengan wayang gagrag anyar yang dianggap lebih modern nan luwes dan kreatif.

Ada saatnya langkah pembaruan yang ditempuh justru menuai kritik. Namun, hal itu tidak menyurutkan semangat Ki Narto Sabdo. Kesenian wayang memang harus selalu penuh inovasi agar eksistensinya tidak tergilas laju zaman.

Di dunia karawitan, Ki Narto Sabdo banyak menciptakan gending dan lagu bertema kebangsaan, pariwisata, pertanian, asmara, pedesaan, maupun permainan anak. Jumlah gending dan lagu seluruhnya mencapai 319 buah dan banyak di antaranya masih eksis hingga sekarang. Sebagian gending dan lagu Ki Narto Sabdo diciptakan untuk mendukung program pemerintah yang tengah digalakkan.

Pada tahun 1985, Ki Narto Sabdo meninggal dunia dan dimakamkan di TPU Bergota, Kota Semarang. Cukup banyak yang sudah dilakukannya selama tiga dasawarsa pengabdian. Namun, semua itu tidak akan pernah cukup untuk mengawal perjalanan panjang dunia pakeliran dalam rentang sebuah peradaban.

Kepergian Ki Narto Sabdo mewariskan ajaran tentang bagaimana melestarikan, mengembangkan, mengajarkan, dan menjaga keluhuran budaya adiluhung kesenian wayang. Di pundak generasi penerus ia tambatkan simpul kesinambungan.

Untuk mengenang dan menghormati dedikasi Sang Legenda, Pemerintah Republik Indonesia menganugerahkan bintang Mahaputera Nararya, sebuah penghargaan kepada mereka yang secara luar biasa menjaga keutuhan, kelangsungan, dan kejayaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain itu, gelar Pahlawan Nasional atau Pahlawan Budaya Indonesia.

Di Kota Semarang, nama Ki Narto Sabdo diabadikan sebagai nama jalan dan nama gedung di Taman Budaya Raden Saleh (TBRS). Pemerintah Kota Semarang bekerja sama dengan para seniman dan pihak swasta juga membangun Monumen Ki Narto Sabdo yang terletak di Jalan Pemuda, tidak jauh dari alun-alun Kota Semarang.

Monumen Ki Narto Sabdo juga terdapat di Kota Klaten. Letaknya di Jalan Merbabu, sebelah timur Kantor Bupati Klaten. Monumen tersebut dibangun oleh Pemerintah Kabupaten Klaten tahun 2014. Apresiasi lainnya berupa sebuah taman yang terletak di Desa Pandes. Dibangun oleh Pemerintah Desa setempat dan dinamai Taman Ki Narto Sabdo.

Hingga sekarang, Pemerintah Kabupaten Klaten masih tetap melestarikan tradisi wayangan malam Selasa Kliwon. Wahana tersebut sebagai ajang promosi dan peningkatan kompetensi para pelaku kesenian wayang, khususnya dalang muda. Dengan demikian, diharapkan kesinambungan dunia pakeliran Kabupaten Klaten akan senantiasa terjaga.

Wayang Tidak Sebatas Hiburan

Eksistensi Ki Narto Sabdo sebagai dalang menjadi pembuka cakrawala baru dunia pakeliran. Kiprahnya mampu menumbuhkan animo masyarakat dan menjadi mentor bagi dalang muda yang semakin banyak bermunculan. Generasi penerus yang dikenal sebagai dalang kondang, antara lain Ki Anom Suroto, Ki Manteb Sudarsono, Ki Warseno Slank, Ki Entus Susmono, dan beberapa nama lainnya.

Perhatian pemerintah terhadap dunia pakeliran menunjukkan bahwa eksistensi kesenian wayang bukan sebatas hiburan. Kesenian wayang dipandang sebagai ragam seni budaya yang turut mewarnai jati diri dan kepribadian bangsa. Bentuk perhatian pemerintah lainnya adalah mengangkat kesenian wayang ke kancah internasional melalui Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO).

Konsistensi bangsa Indonesia terhadap pelestarian dunia pakeliran mendorong sukses perjuangan pemerintah dalam menjaga keluhuran kesenian wayang di mata dunia. Pada tanggal 7 November 2013, kesenian wayang ditetapkan oleh UNESCO menjadi warisan budaya dunia atau sebagai ‘Mahakarya Dunia uang Tak Ternilai dalam Seni Bertutur’ atau World Master Piece of Oral and Intangible Heritage of Humanity. Lima tahun kemudian, tepatnya tanggal 7 November 2018, ditetapkanlah ‘Hari Wayang Nasional’ melalui Keputusan Presiden Nomor 30 tahun 2018.


Berita Terkait

Mungkin Anda Tertarik