

Idul Adha, Inspirasi Pembelajar Sepanjang Hayat
/ Inspirasi
Nabi Ibrahim a.s. yang sangat dicintai Allah s.w.t. pun tak berhenti belajar, lantas bagaimana dengan kita?
Mas Wantik
Penulis buku Wong Kang Soleh Kumpulana, Yang Terucap Yang Tertulis, Semua Orang Bisa Naik Haji, dan Cara Gampang Jadi Orang Baik
Satu di antara sekian hikmah keutamaan Idul Adha, yakni perjalanan spiritual keluarga besar Nabi Ibrahim a.s. sebagai isyarat dan petunjuk yang diwariskan kepada para nabi dan rasul setelahnya hingga Nabi Muhammad s.a.w. kemudian menjadi pedoman kehidupan utama umat Islam.
Perihal itu bisa jadi dapat pula dialami dan dijumpai dalam kehidupan kita, sehingga sebelum persolaan-persoalan tersebut dihadapi, Allah s.w.t. sudah memberikan jalan keluar serta sudah memberikan solusi yang jika kita pelajari dengan baik maka segala aktivitas yang kita lalui akan lebih mudah. Masalah-masalah yang datang pun dapat diatasi dengan baik.
“Dan demikianlah Kami berikan penampakan. Kami berikan jalan dan petunjuk kepada Ibrahim a.s. supaya dengan itu bisa lebih mendekatkan diri dengan Allah. Petunjuk yang Kami tebarkan di langit dan bumi, dengan segala petunjuk itu diharapkan Ibrahim a.s. menjadi semakin yakin kepada Allah. Dengan keyakinan itu makin dekat dengan Allah. Dengan kedekatan itu makin mudah menjalani kehidupan yang dilalui,” demikian firman Allah s.w.t dalam Al-Quran surah ke-6 Al-An‘am ayat 75 hingga 79.
Orang yang dekat dengan pemberi solusi akan mudah mengatasi persoalan yang dihadapi. Manusia yang dekat dengan Allah s.w.t. pun begitu. Apa yang tidak bisa diatasi oleh-Nya?
Karena itulah penting untuk dipelajari, Ibrahim a.s. seorang nabi dan rasul tapi tetap diperintahkan oleh Allah untuk belajar dan mengambil petunjuk-petunjuk. Dengan petunjuk itu, beliau bisa lebih mendekatkan diri kepada Allah.
Beliau belajar dari fenomena alam dengan melihat ke langit, melihat penampakan rembulan, melihat penampakan matahari. Belajar dari hal-hal itu hakikat ilmu tauhid, sehingga beliau menyimpulkan, “Aku menghadapkan wajahku kepada Sang Pencipta langit dan bumi, dengan penuh ketulusan dan penyerahan. Aku juga tidak tergolong dalam kelompok orang musyrik.”
Nabi Ibrahim a.s. kemudian yakin bahwa tiada Tuhan selain Allah, Yang Haq itu hanya Allah, sampai beliau memasrahkan dirinya kepada Allah. Itulah esensi kehidupan dalam bertauhid.
“Saya akan berusaha mendekatkan diri kepada Allah. Saya akan mendirikan sholat. Saya mau beribadah. Saya mau melakukan apa pun, sehingga hidupku bermanfaat dan mendapat ridha Allah. Jika sampai wafat pun dalam naungan Allah s.w.t.”
Penguatan Syahadat
Sesibuk apa pun seseorang dan sebanyak apa pun aktivitasnya, jangan melupakan Tuhan. Jangan lupa bahwa kita akan pulang. Jangan lupa kita akan kembali ke Allah.
Allah memberikan pelajaran yang sangat dalam kepada seorang Ibrahim a.s. Seseorang yang sangat disayang oleh-Nya. Statusnya, nabi. Statusnya, rasul. Statusnya, bapak para nabi. Karena dari keturunannya, rata-rata menjadi nabi dan rasul. Tapi, segala status istimewa itu di hadapan Allah tidak menghentikan perintah untuk tetap belajar. Dengan belajar maka semakin dekat kepada Allah.
Kedekatan dengan Allah menjadikan beliau begitu terlindungi setiap aktivitasnya. Rezekinya pun begitu dimudahkan. Keturunannya dirawat oleh Allah. Keluarga diperhatikan.
Apabila Sang Khalilullah yang sangat dicintai Allah itu... Abul Anbiya’ bapak para nabi... seorang yang sibuk berdakwah pun bekerja mencari nafkah... tapi masih sempat untuk belajar, masih punya waktu untuk mendekatkan diri kepada Allah... maka siapa kita?
Kita bukan Nabi. Kita tidak bergelar Khalilullah. Kita tidak ada yang bergelar bapak para Nabi. Lantas mengapa kita tidak mempunyai waktu untuk belajar dan mendekat kepada Allah s.w.t.?
Jika seseorang bergelar Khalilullah dan Habibullah serta seluruh keluarganya baik dalam pandangan Allah saja masih diminta untuk belajar maka kita sesibuk apa dalam sepekan untuk mendekat kepada Allah? Bagaimana kita bisa menguatkan Laailaahaillallaah bila tidak pernah belajar tentang kalimat itu?
Dalam Al-Quran surah ke-47 ayat 19, Allah berfirman, Fa'lam annahu laailahaillallah?
Kita harus punya ilmu untuk menguatkan syahadat kita, Laailaahaillallaah. Fa’lam maka harus punya ilmu dan harus tahu. Dengan pengetahuan itu, Annahu laailaahaillallaah semakin yakin bisa memantabkan tauhid dalam jiwa kita, untuk kita bawa pulang sebelum wafat.
Laailaahaillallaah. Perhatikan satu dasar spiritual sederhana ini. Bila abai maka Laailaahaillallaah begitu mudah untuk luntur dari lisan dan bahkan hati kita, dengan tawaran pekerjaan atau tawaran jabatan. Seseorang bisa meninggalkan Laailaahaillallaah hanya karena perkara dunia.
Kita harus berupaya agar kalimat Laailaahaillallaah tertanam kuat dalam hati kita.